Ayunan Jantra, Permainan Tradisional Bali Bernilai Sakral tentang Kehidupan Manusia
Filosofi Ayunan Jantra
Dalam filosofi masyarakat Desa Terunyan, kehidupan manusia diibaratkan sebagai sebuah perputaran roda kehidupan yang disimbolkan dengan ayunan jantra. Ayunan ini mirip dengan simbol swastika, bisa diputar ke arah kanan dan ke arah kiri, sebagai simbol keseimbangan dalam hidup.
Hal inilah yang dijadikan pedoman untuk melihat keadaan kehidupan masyarakat Terunyan. Dengan demikian, dalam kehidupan masyarakatnya dapat dilihat tidak ada warga desa yang kaya sekali atau miskin sekali.

Dalam kehidupan masyarakat Desa Terunyan dikenal istilah Sibak Luh dan Sibak Muani. Istilah ini merupakan pembagian kelompok masyarakat di Desa Terunyan yang terdiri dari Sibak Kaje (Sibak Luh) dan Sibak Kelod (Sibak Muani).
Untuk membuat Ayunan Jantra, Krama Sibak Luh dan Sibak Muani harus bekerja secara bersama-sama, mulai dari mencari kayu kesuna dan kayu owa.
Kayu kesuna akan dicari di hutan sekitar Terunyan oleh warga Sibak Luh dan kayu owa akan dicari oleh Sibak Muani. Setelah kayu ini ditemukan kemudian dibuat persiapan untuk membuat canggah (tiang penopang).
Apabila canggah dari kayu kesuna sudah selesai dibuat dan canggah satu lagi dari kayu owa juga sudah selesai disiapkan, maka tahap berikutnya adalah mendirikan tiang ayunan.
Tiang ayunan dari kayu kesuna akan ditancapkan oleh warga Sibak Luh di sebelah timur (kaja/utara di Terunyan) dan tiang kayu dari owa akan ditancapkan di sebelah barat (kelod/selatan Terunyan).
Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan tempat duduk ayunan yang jumlahnya empat buah. Setelah selesai ayunan ini, maka warga yang naik juga harus dari krama Sibak Luh dan Sibak Muani secara bergantian.
Editor: Reza Yunanto