Cerita Penumpasan Antek PKI di Pulau Bali, Pasukan Tameng Bersenjata Klewang
JAKARTA, iNews.id - Sekelompok orang yang dinamakan Pasukan Tameng memburu pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) di Bali pada 1965. Sepak terjang pasukan itu diceritakan I Ngurah Suryawan dalam esai panjang berjudul "Lorong Gelap Ingatan (Etnografi Kekerasan dan Kesaksian Tameng)".
Esai itu juga menjadi bagian isi bukunya yang terkenal "Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965"
Diceritakan Ketut Darta adalah tokoh masyarakat terpandang yang juga veteran pejuang menjadi pemimpin PNI (Partai Nasionalis Indonesia) saat tahun 1960-an di desa.
Saat seruan gerakan mengikis habis komunis sampai ke akar-akarnya dicanangkan akhir November 1965, rumah Darta menjadi markas barisan tameng dan massa Front Pancasila untuk “Pengganyangan Komunis”.
Setiap hari rumahnya ramai dengan pasukan tameng, milisi sipil dari massa PNI dan pemburu PKI. Mereka berseragam serba hitam, berbaret merah bersenjata klewang.
Sore hari mereka berkumpul di rumah Darta dan bersiap untuk menghabiskan jatah (daftar bagian orang yang harus dicari) di desa tetangga.
Sebelum eksekusi dilakukan, massa akan melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.
Tengah malam mereka datang dan acara berlanjut dengan pesta lawar (makanan tradisi Bali dari daging babi) dan arak. Para tameng ini datang dengan berbaju hitam, klewang terhunus dengan tangan yang berlumuran darah.
Semua barisan massa ini dikoordinasi oleh Darta yang selalu sibuk menghadiri rapat-rapat tokoh PNI di berbagai desa.
Setiap bepergian, ia selalu dikawal oleh seorang Tameng dan selalu membawa sebuah klewang yang dianggapnya sangat bertuah menyelamatkan nyawanya dalam berbagai perkelahian antar geng di desa.
Pengawal setia Darta adalah Pekak atau kakek Pegeg. Dia bercerita panjang lebar tentang riwayat Gestok padanya.
Pengikut PKI saat itu lebih banyak jumlahnya dari PNI. Banyak warga yang ikut PKI karena dijanjikan akan mendapatkan tanah tegalan, ladang untuk bertani. PKI nanti yang membagikan tanah-tanah itu.
Men PKI menang kal guling nase adalah kata-kata Wayan Warda, tokoh PKI di desanya yang tidak dilupakan Kak Pegeg. Kalimat itu artinya: kalau PKI menang akan kita guling dia.
Kata-kata itulah yang selalu keluar darinya saat berada di depan massa PKI. Ini untuk mengancam Ketut Darta dan pengikutnya dari PNI yang akan diperlakukan seperti babi, diguling.
Janji itu tentu sangat menggugah masyarakat dan kemudian menjatuhkan pilihan mendukung setiap gerakan partai komunis nomor tiga terbesar di dunia saat tahun 1960an itu.
Tapi angin kemudian berembus tanpa terduga. Di rumah warga desa yang memiliki radio-radio disesaki orang yang ingin mendengar ada sebuah berita tak terduga.
Ada gerakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah dengan membunuh jendral-jendral pada malam hari 30 September 1965 dan memasuki dini hari 1 Oktober 1965.
Oleh Soeharto kemudian gerakan kudeta itu dinyatakan dilakukan oleh PKI, dan kemudian menyebutkan peristiwa itu sebagai G30SPKI. Kekuasaan diambil alih Soeharto dengan melakukan pembubaran PKI dan menetapkannya sebagai partai terlarang di Indonesia.
Setiap jengkal tanah di Tanah Air ini diperintahkan untuk mengganyang dan menumpas sampai ke akar-akarnya PKI dan para pengikutnya.
Dan mulailah tahun-tahun kelam dalam sejarah di negeri ini, pembunuhan massal pada setiap manusia yang terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI dan komunis.
Kak Pegeg memastikan, hampir lima lembar carik kertas yang ada di tangan Ketut Darta berisi daftar nama orang-orang yang kene garis, terkena garis PKI untuk mati dan tercatat pernah terlibat dalam acara PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.
Daftar nama itu diperolehnya dari catatan absensi kegiatan-kegiatan PKI ditambah dengan laporan masing-masing desa. Dari PNI, lawan politik PKI, juga mencatat siapa saja orang-orang yang pernah tersangkut dalam kegiatan PKI.
Tapi Kak Pegeg yakin sebagian lagi dari orang-orang yang terbunuh dalam tahun 1965-1966 adalah korban dari pisuna, fitnah, sentimen dan masalah pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan PKI.
Dari lima lembar carik kertas daftar nama itulah pedoman untuk melakukan penculikan dan pembunuhan.
Di sinilah posisi sulit dialami Ketut Darta. Di daftar itu tertera jelas nama kakaknya, Wayan Warda, yang jelas-jelas menjadi tokoh PKI di desa yang harus dibunuh.
Dari November 1965 hingga Februari 1966 adalah hari-hari mencekam di desa. Setiap hari hampir pasti ada rumah yang terbakar, orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya.
Kak Pegeg menjadi salah satu anggota dari barisan massa tameng PNI yang menyaksikan kejadian itu. Saat itu, barisan massa akan melakukan pengganyangan terhadap sebuah desa tetangga, yang hampir seluruh kramanya masuk PKI.
Ratusan massa berteriak, mengacungkan klewang dan membakar seluruh rumah di desa tersebut. Sebelumnya para perempuan dan anak-anak diamankan di bale banjar, sementara barang-barang yang masih bisa diselematkan dikumpulkan.
Massa Tameng beringas dan menculik para laki-laki di desa tersebut. Ada yang dibunuh langsung di desa tersebut dan diangkut truk untuk dibunuh di tempat lain. Setelah massa Tameng mengamuk, desa tersebut telah rata menjadi tanah.
Hampir semua membawa klewang berceceran darah yang diseret di jalan-jalan. Kadang massa akan mengacungkan klewang tersebut dan berteriak, “Matiang PKI“ (Bunuh PKI).
Rumah Ketut Darta pada malam hari layaknya tempat pengungsian yang mencekam dan mendebarkan. Banyak masyarakat desa yang berlindung di rumahnya.
Rumah mereka telah habis terbakar, dan bisa dipastikan suami, ayah, paman, atau saudara mereka telah hilang diculik oleh barisan tameng.
Bahkan banyak orang yang merasa pernah ikut dalam kegiatan PKI berlindung di rumah Ketut Darta. Rumah empat bilik beratapkan alang-alang itu penuh sesak dengan tangis anak-anak, kebingungan ibu-ibu menanyakan suaminya, kecemasan dan kebisuan menghadapi teror pembunuhan yang berada di sekitar mereka.
Selama Ketut Darta berada di rumahnya mendengar cerita ibu-ibu yang kehilangan anggota keluarganya, tidak terjadi keributan di sekitar rumah apalagi penculikan terhadap orang-orang tersangkut PKI yang bersembunyi di rumah tersebut.
Penuturan Kak Pegeg, banyak massa tameng di daerah lain yang bertanya pada Ketut Darta, kenapa si A tidak dibunuh?
Dia akan menjawabnya dengan tenang. Yang “diambil“ itu anggota-anggota PKI yang aktif, yang tidak aktif dan ikut-ikutan kita selamatkan, toh mereka juga saudara kita.
Ketut Darta selain berpedoman pada daftar lima carik kertas, juga berhasil “memutihkan“ beberapa nama di daftar tersebut untuk ia selamatkan nyawanya, orang yang ikut-ikutan dan tidak terkenal menjadi tokoh partai di desa.
Tapi ia tidak bisa mengelak saat kakaknya yang sudah dikenal menjadi tokoh PKI sudah dipastikan harus terbunuh, dan ia tidak bisa melawan keputusan itu.
Kak Pegeg bercerita, banyak tetua di desa yang sekarang masih hidup, saat zaman Gestok bersujud, nitipang angkian, menitipkan napas/nyawa pada Ketut Darta.
Editor: Reza Yunanto