KARANGASEM, iNews.id – Desa Adat Bukit Galah, Banjar Dinas Sogra, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Karangasem yang berjarak terdekat dengan Gunung Agung ini menjadi desa yang terpencil dan terisolir. Minimnya akses jalur evakuasi jika terjadi erupsi, membuat warga yang berada di jarak kurang dari lima kilometer dari puncak gunung ini kerap dilanda kecemasan.
Bahkan saat terjadi erupsi pada tahun 2017 silam, warga desa ini menjadi yang paling lama mengungsi. Hingga akhir tahun 2018, seluruh warga baru dapat kembali ke rumah masing-masing.
Akses jembatan yang kerap digunakan warga untuk melintas sebagai jalur alternatif rusak akibat terjangan banjir bandang hingga lahar dingin
Menurut Bendesa Adat Bukit Galah, I Putu Suyasa, sejak akses jembatan yang menghubungkan ke Kecamatan Bebandem rusak, untuk menuju ke Kota Karangasem harus memutar melalui Kecamatan Selat yang jaraknya mencapai 45 kilometer.
“Kalau mau ke Bebandem, biasanya warga keluar kampung bawa motor. Lalu dilanjutkan berjalan kaki, motornya ditinggal,” kata Suyasa.
Berbatasan langsung dengan hutan Gunung Agung, desa yang berpenghuni sekitar 38 Kepala Keluarga (KK) ini menjadi desa yang terisolir.
Aksesnya terbatas. Bahkan dari Desa Adat Bukit Galah menuju Kecamatan Bebandem sempat terhubung dengan jembatan semi permanen, dapat dilalui mobil berukuran kecil dengan maksimal bobot hingga lima ton.
“Sebenarnya dulu kami ada jembatan semi permanen, tetapi rusak karena di tahun 2017 diterjang lahar dingin akibat erupsi Gunung Agung,” ujarnya.
Rusaknya jembatan ini kemudian oleh warga kembali diperbaiki dengan bambu seadanya. “Kemudian kami ganti dengan jembatan kayu yang hanya bisa dipakai untuk pejalan kaki. Namun setelah setahun rusak lagi karena mungkin lapuk,” kata Suyasa.
Akses jembatan ini kemudian diperbaiki lagi dengan jembatan kayu seadanya hingga bisa dilalui warga yang mengendarai motor. Namun lagi-lagi jembatan ini pun tak bertahan lama.
Pentingnya keberadaan akses jembatan juga sangat dirasakan anak-anak usia sekolah yang harus menempuh pendidikan mulai TK hingga SMA.
“Meski kami masuk Kecamatan Selat, namun akses fasilitas pendidikan lebih dekat ke Kecamatan Bebandem,” katanya.
Jika musim kemarau, sungai kering sehingga dapat dilalui anak-anak. Namun saat musim hujan tiba, membuat orang tua khawatir.
“Kalau musim hujan datang air di sungai sangat deras. Kadang harus dilihat dulu, kira-kira sampai jam berapa airnya akan kecil. Kalau dilihat membahayakan terkadang anak-anak tidak sekolah, atau sekolah tetapi datang terlambat,” ucap Suyasa.
Di tahun 2020, Suyasa kembali berupaya mengajukan ke pemerintah daerah namun ditolak karena seluruh pembangunan fisik dihentikan sementara karena anggaran dialihkan untuk fokus penanganan Covid-19.
“Akhirnya saya ajukan untuk program TMMD (TNI Manunggal Membangun Desa) dan disetujui,” katanya.
Editor : Dewi Umaryati
Artikel Terkait